Makanan: Menyehatkan atau Justru Merusak?

Ada temuan yang patut untuk dicermati dari Badan Kesehatan Dunia [WHO]. Badan dunia tersebut memperkirakan penderita diabetes di Indonesia akan meningkat tajam. Pada tahun 2000 lalu, terdapat 8,4 juta penderita diabetes di Indonesia. Jika tak ada upaya serius untuk menanggulanginya, diperkirakan pada tahun 2030 nanti, penderita diabetes di Indonesia mencapai 21,3 juta.
Analisa tersebut sangat mengerikan menginggat bahwa diabetes biasanya dibarengi dengan munculnya penyakit-penyakit lain. Penderita diabetes yang tak segera ditangani bisa menyebabkan stroke, kerusakan ginjal, maupun kebutaan. Diabetes bisa juga terjadi pada anak-anak, bahkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Banyak temuan yang menunjukkan gejala itu. Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI] mencatat, setiap tahun terjadi 240 kasus baru diabetes pada anak Indonesia.

Ada beberapa faktor penyebab diabetes. Selain karena faktor keturunan, penyakit yang sering disebut the silent killer ini juga disebabkan karena obesitas atau kegemukan. Kondisi itu terjadi karena kebiasaan mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa diimbangi olahraga yang teratur.

Mengonsumsi makanan secara baik [seimbang] berfungsi untuk menghasilkan energi, mengganti sel-sel tubuh yang tua atau rusak, juga untuk menjaga metabolisme dalam tubuh. Ujung dari ketiga fungsi tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia agar bisa menjalankan tugas kehidupannya. Tapi, apabila keseimbangan itu dilanggar, makanan tak mendatangkan manfaat, bahkan akan merusak tubuh. Dalam ajaran Islam, ada diperintahkan untuk makan makanan yang halal dan baik [halâlan thayyiban]. Allah swt berkalam dalam al-Qur’an yang artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS al-Baqarah [2]: 168].

Jadi, tak cukup hanya halal saja, tetapi harus thayyib, karena belum tentu makanan yang halal itu thayyib. Udang dan ikan laut itu pada dasarnya halal untuk dimakan, tetapi menjadi tak baik [tidak thayyib] untuk mereka yang menderita alergi. Ke-thayyib-an makanan paling tidak memenuhi tiga syarat yaitu baik dari sisi kandungannya, jumlah konsumsinya, dan cara mengonsumsinya.

Kandungan Makanan
Karena fungsi makanan yang begitu penting, banyak ahli gizi yang menyarankan agar makanan yang kita makan selalu mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh seperti protein, karbohidrat, mineral, lemak, dan vitamin. Berbagai unsur tersebut hendaknya dikonsumsi secara seimbang, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Berlebihan pada salah satunya berakibat kurang baik, seperti makanan cepat saji [fast food] misalnya.

Pada umumnya, fast food mengandung gizi yang tak seimbang. Kandungannya lebih banyak lemak, gula, dan garam, sedikit sekali mengandung serat. Padahal kelebihan lemak dalam tubuh bisa menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol yang berlebihan itu merupakan pemicu munculnya penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

Selain itu ada penelitian terbaru dari University of Alberta yang menyatakan, bagi ibu menyusui, mengonsumsi fast food lebih dari satu atau dua kali seminggu akan mengurangi fungsi ASI bagi bayi.

Sebelumnya, banyak penelitian menyimpulkan bahwa pada anak yang disusui dengan ASI akan mengurangi resiko menderita asma. Bagi ibu yang mengonsumsi fast food melebihi batas, fungsi ASI tersebut tereliminasi.

Perlu juga untuk memerhatikan zat tambahan pada makanan baik itu sebagai bahan pengawet, pewarna, maupun penyedap rasa. Dalam kadar yang dibolehkan, makanan yang mengandung zat tambahan dari bahan kimia masih aman untuk dikonsumsi. Namun jangan salah pengertian, jika makanan tersebut dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tetap saja berbahaya. Zat kimia tersebut akan menumpuk dan menjadi racun dalam tubuh.

Jumlah yang Dikonsumsi
Jumlah makanan yang dikonsumsi juga perlu diperhatikan untuk menjaga keseimbangan bagi tubuh. Memang, memenuhi selera makan sampai perut menjadi kenyang boleh-boleh saja, tapi tetap saja ada batasnya. Ketika sudah melampai batas itu, mengonsumsi makanan menjadi kurang baik. Setiap orang punya batas yang berbeda-beda, tergantung dari kondisi tubuhnya. Bagaimana menentukan batas itu?

Al-Thabari, salah seorang ulama tafsir, mengatakan, “Meskipun kenyang hukumnya mubah, tapi ia memiliki batasan puncaknya. Jika batasan ini dilanggar, maka hal itu disebut berlebih-lebihan. Yang mutlak dalam hal ini adalah kenyang yang dapat membantu pelakunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dan keadaannya tidak membuatnya berat dalam melaksanakan kewajiban.”

Kenyang dalam batasan At-Thabari dikaitkan dengan aktivitas manusia. Jika kenyang itu masih memungkinkan manusia melakukan aktivitas, kekenyangannya masih dianggap wajar. Namun jika sudah menjadikan manusia malas untuk bergerak dan beraktivitas, maka kekenyangan itu sudah melampau batas. Dalam ungkapan yang berbeda, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menentukan batasan konsumsi makanan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi. Menurut Ibnu Qayyim, ada tiga tingkat dalam hal mengonsumsi makanan. Tingkat yang pertama adalah mengonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan. Sabda Rasulullah: “Cukuplah bagi manusia untuk mengkonsumsi beberapa suap makanan saja untuk menegakkan tulang rusuknya”. Artinya, sudah cukup bagi manusia mengonsumsi makanan sampai pada kebutuhan dasarnya. Memenuhi selera menjadi prioritas yang tak utama.

Namun, jika manusia memang berkehendak untuk memenuhi selera makannya, maka Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Kalaulah dia harus berbuat, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” Pada tingkat ini, memenuhi selera makan masih dalam tahap yang wajar, masih memerhatikan keseimbangan asupan makanan.

Jika konsumsi makanan sudah melampaui batas keseimbangan itu, dikatakan sudah berlebihan dan sangat tidak baik untuk dilakukan.

Cara Mengonsumsi
Cara mengonsumsi makanan juga penting untuk diperhatikan. Meski kandungan makanan sudah baik, konsumsinya juga tak berlebihan, tapi jika cara mengonsumsinya tak baik juga belum bisa dikatakan thayyib.

Rasulullah Saw memberikan contoh bagaimana cara makan yang baik. Sebelum makan, Rasulullah Saw mengucap basmallah. Jika makanan yang dihidangkan masih panas, beliau bersabar menunggu sampai makanan itu dingin dan layak dimakan. Kemudian, Rasulullah Saw tak tergesa-gesa dalam makan, mengunyahnya terlebih dahulu sebelum ditelan. Setelah makan, beliau mencuci tangannya.

Para ulama terdahulu juga melakukan ijtihad dalam masalah ini. Ada anjuran dari para ulama untuk mencuci tangan sebelum makan, meski tak ditemukan hadis nabi yang membicarakan hal tersebut. « [imam]

sumber: http://alifmagz.com/wp/?p=2149
 Photobucket

0 komentar:

Posting Komentar